Perbedaan Pinjol Konvensional dan Syariah, Simak Penjelasannya!
![]() |
Ilustrasi. (Dok. iStock/anyaberkut) |
PEWARTA.CO.ID - Di tengah kebutuhan keuangan yang mendesak, layanan pinjaman online (pinjol), atau kini dikenal dengan sebutan pinjaman daring (pindar), menjadi solusi yang semakin diminati masyarakat.
Menjelang Hari Raya Lebaran, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksikan adanya peningkatan penggunaan layanan pinjol oleh masyarakat.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, LKM, dan LJK Lainnya OJK, Agusman, menjelaskan bahwa tren ini terlihat dari kondisi pada tahun sebelumnya.
"Diperkirakan juga terjadi peningkatan permintaan pembiayaan Pindar menjelang lebaran tahun ini. Namun diharapkan akan lebih terkendali agar tidak menimbulkan peningkatan NPF (non performing financing) ke depan," ujar Agusman dalam keterangan tertulis, Jumat (7/3/2025).
Sistem keuangan di Indonesia sendiri terbagi menjadi dua pendekatan, yaitu sistem konvensional dan sistem syariah.
Berdasarkan data OJK per 31 Desember 2024, tercatat ada 97 Penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) yang mengantongi izin, dengan rincian 90 perusahaan pinjol berbasis konvensional dan 7 perusahaan berbasis syariah.
Lalu, apa saja perbedaan mendasar antara pinjol konvensional dan pinjol syariah? Berikut penjelasannya:
1. Prinsip dasar
Perbedaan paling utama terletak pada prinsip operasionalnya.
Pinjol syariah berlandaskan pada prinsip syariah sesuai Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Nomor 117/DSN-MUI/II/2018.
Dalam fatwa tersebut dijelaskan, pinjol syariah adalah layanan jasa keuangan berbasis prinsip syariah yang mempertemukan pemberi dan penerima pembiayaan melalui sistem elektronik menggunakan jaringan internet.
"Ketentuan hukum layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi dibolehkan dengan syarat sesuai dengan prinsip syariah. Pelaksanaan layanan berdasarkan prinsip syariah wajib mengikuti ketentuan yang terdapat dalam fatwa ini," demikian isi Fatwa MUI seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.
2. Bentuk perjanjian
Pinjol konvensional menggunakan perjanjian pinjam-meminjam umum di bidang jasa keuangan, meliputi kesepakatan tentang jumlah pinjaman, bunga, jangka waktu, serta mekanisme penagihan.
Sedangkan pinjol syariah menggunakan akad-akad syariah seperti ijarah, musyarakah, mudharabah, qardh, dan wakalah:
- Ijarah: Pemindahan hak manfaat barang atau jasa dengan pembayaran upah.
- Musyarakah: Kerjasama modal antara dua pihak atau lebih, dengan pembagian untung-rugi sesuai kesepakatan.
- Mudharabah: Kerjasama antara pemilik modal dan pengelola usaha, dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati.
- Qardh: Pinjaman yang wajib dikembalikan dalam jangka waktu dan metode tertentu.
- Wakalah: Pemberian kuasa dari pemberi pembiayaan kepada penerima pembiayaan.
3. Skema bunga dan margin
Pada pinjol konvensional, pinjaman biasanya disertai bunga yang besarnya ditentukan dalam perjanjian awal. Sebaliknya, pinjol syariah tidak menerapkan bunga.
Sebagai gantinya, ada konsep margin atau bagi hasil, tergantung pada jenis akad yang digunakan.
Untuk akad musyarakah dan mudharabah, keuntungan dibagi sesuai nisbah yang telah disepakati bersama.
4. Biaya tambahan
Baik pinjol konvensional maupun syariah sama-sama dapat mengenakan biaya tambahan seperti biaya administrasi. Dalam layanan syariah, biaya ini harus sesuai prinsip ijarah.
"Penyelenggara boleh mengenakan biaya (ujrah/rusum) berdasarkan prinsip ijarah atas penyediaan sistem dan sarana prasarana layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi," terang Fatwa MUI.
5. Penanganan risiko
Jika terjadi keterlambatan pembayaran, pinjol konvensional biasanya mengenakan bunga tambahan, denda administrasi, hingga proses penagihan yang cukup ketat.
Di sisi lain, dalam skema syariah, penyelesaian masalah pembayaran lebih fleksibel.
Para pihak dapat melakukan negosiasi untuk mencari jalan keluar tanpa adanya unsur tambahan yang membebani seperti denda keterlambatan.