Kebijakan Tarif Baru AS Berpotensi Melemahkan Industri TI Indonesia
![]() |
Kebijakan tarif baru AS berpotensi melemahkan industri TI Indonesia. (Dok. Ist) |
PEWARTA.CO.ID - Kebijakan tarif impor baru dari Amerika Serikat dikhawatirkan dapat berdampak negatif pada sektor teknologi informasi (TI) dan telekomunikasi di Indonesia.
Langkah proteksionis ini dinilai bisa melemahkan daya saing industri dalam negeri, terutama karena ketergantungan Indonesia pada impor komponen teknologi dan keterbatasan kapasitas produksi nasional.
Dampak langsung terhadap industri TI
Direktur Ekonomi Digital dari Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengungkapkan bahwa kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh AS berpotensi besar menghambat perkembangan sektor TI nasional.
"Saya melihatnya kebijakan tarif impor AS akan melemahkan industri IT atau Teknologi dalam negeri.
Pasalnya, industri dalam negeri kita masih belum mampu untuk memproduksi lebih jauh," kata Nailul Huda saat dihubungi ANTARA, Senin.
Menurut Huda, penurunan ekspor ke pasar AS akan menyulitkan industri lokal dalam mencari pasar alternatif, apalagi di tengah persaingan global yang semakin ketat.
Lebih buruk lagi, pasar domestik juga berpotensi dibanjiri produk impor dari negara lain yang terkena kebijakan serupa, menambah tekanan pada produsen lokal.
"Ini yang mengkhawatirkan bahwa industri kita tertekan dari ekspor yang turun, tapi produk dari negara lain bisa masuk ke dalam negeri," ucapnya.
Ketergantungan pada impor dan risiko kurs
Huda juga menyoroti risiko yang timbul dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Sektor teknologi, khususnya elektronik dan TI, sangat tergantung pada impor komponen utama seperti chip yang tidak diproduksi di Indonesia.
Jika rupiah terus melemah, biaya produksi dan harga perangkat teknologi akan melonjak, sehingga menghambat pertumbuhan industri.
"Industri elektronik dan TI sangat bergantung pada impor komponen utama seperti chip, yang tidak diproduksi di dalam negeri.”
Langkah strategis yang disarankan
Guna menghadapi tantangan ini, Huda mendorong pemerintah untuk segera mengambil langkah diplomatik dengan Amerika Serikat.
Menurutnya, perlu ada negosiasi yang bertujuan menurunkan beban tarif yang diterapkan pada produk Indonesia.
Ia juga mengusulkan pembentukan aliansi strategis, salah satunya melalui BRICS, sebagai cara untuk memperkuat posisi tawar Indonesia dalam perdagangan global.
Selain itu, pemerintah juga diminta mendorong pertumbuhan industri teknologi lokal melalui berbagai insentif.
"BRICS bisa menjadi salah pintu masuk. Selain itu, genjot industri TI atau teknologi dalam negeri kita dengan insentif dan sebagainya," ucap dia.
Peringatan soal dampak makroekonomi
Senada dengan Huda, Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, menyoroti dampak kebijakan tarif terhadap stabilitas nilai tukar rupiah.
Ia memperingatkan bahwa jika dolar AS terus menguat dan menembus angka psikologis Rp20.000, proyek-proyek infrastruktur telekomunikasi di dalam negeri bisa terganggu.
"Banyak proyek mangkrak dan sulit membayar ke vendor karena banyak proyek peralatannya dari luar negeri, yang akan mengikuti pergerakan rupiah. Begitu juga dengan harga-harga perangkat telekomunikasi," kata dia.
Heru juga mengingatkan bahwa krisis nilai tukar berpotensi memicu penurunan daya beli masyarakat terhadap produk teknologi.
Hal ini bisa membuka risiko krisis ekonomi dan sosial, seperti yang pernah terjadi pada tahun 1998.
"Ini semua menjadi alarm bagi kita potensi krisis ekonomi, krisis sosial dan krisis politik yang terjadi di Indonesia tahun 1998. Harus diwaspadai. Pemerintah harus memperbaiki komunikasi dan tata kelola pemerintahan," kata Heru.
Rincian kebijakan tarif AS
Kebijakan tarif resiprokal diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump pada 2 April 2025 dan berlaku mulai 5 April.
Indonesia, bersama beberapa negara lain, menjadi sasaran utama dengan tarif khusus yang mulai diberlakukan pada 9 April 2025 pukul 00.01 EDT atau 11.01 WIB.
Tarif yang dikenakan kepada Indonesia tercatat sebesar 32 persen.
Negara ASEAN lain juga terkena dampaknya, dengan tarif bervariasi: Filipina 17 persen, Singapura 10 persen, Malaysia 24 persen, Kamboja 49 persen, Thailand 36 persen, dan Vietnam 46 persen.