Jual Ginjal Demi Uang: Pemuda Kenya Terjerumus dalam Jaringan Gelap Transplantasi Organ
![]() |
Ilustrasi - Perdagangan organ. (Dok. Liputan 6). |
PEWARTA.CO.ID - Di balik janji uang cepat, para pemuda di Kenya justru terperosok dalam jeratan sindikat penjualan organ yang mengerikan. Kisah nyata yang dialami Amon Kipruto Mely, seorang pria 20 tahun dari Kenya Barat, membuka tabir suram perdagangan ginjal yang mengeksploitasi mereka yang paling rentan.
Amon tumbuh dalam kondisi ekonomi yang serba kekurangan. Pandemi COVID-19 memperparah situasi, membuatnya bergonta-ganti pekerjaan, mulai dari buruh bangunan hingga penjaga showroom mobil. Di tengah keputusasaan mencari penghasilan tetap, seorang teman menawarkan "jalan pintas" meraup sekitar 6.000 dolar AS atau lebih dari Rp100 juta cukup untuk mengubah nasib, pikir Amon saat itu.
"Katanya, kalau jual ginjal, saya akan untung," ujar Amon seperti dikutip dari DW Indonesia, Sabtu (19/4/2025).
Berbekal harapan itu, Amon dibawa ke Rumah Sakit Mediheal di Eldoret oleh seorang perantara. Di sana, ia diminta menandatangani dokumen berbahasa Inggris, bahasa yang tak dikuasainya. Tidak ada penjelasan medis, apalagi informasi soal risiko. Ia hanya diyakinkan bahwa banyak orang lain sudah melakukannya dan tetap sehat.
Namun kenyataan jauh dari harapan. Alih-alih mendapat 6.000 dolar AS seperti yang dijanjikan, Amon hanya menerima 4.000 dolar AS (sekitar Rp67 juta). Uang itu pun habis dalam waktu singkat, digunakan untuk membeli ponsel dan mobil yang kemudian rusak. Tak lama setelahnya, kondisi fisiknya mulai menurun drastis. Ia sering pingsan, mudah lelah, dan mengalami sakit kepala hebat.
Sang ibu, Leah Metto, tak kuasa menyembunyikan kesedihan ketika mengetahui anaknya telah menjual ginjal demi uang. "Mereka mengambil keuntungan lewat anak-anak muda seperti Amon," ungkapnya.
Investigasi kolaboratif yang dilakukan Der Spiegel, ZDF, dan DW mengungkap jaringan internasional jual beli organ yang melibatkan rumah sakit, perantara, bahkan lembaga bayangan. Dokumen rahasia, kesaksian whistleblower, dan wawancara dengan korban menunjukkan pola eksploitasi sistematis terhadap kaum muda miskin di Kenya.
Menurut Willis Okumu, peneliti dari Institute of Security Studies in Africa, praktik ini bukan kasus individu semata. "Faktanya, ini adalah kejahatan terorganisasi," ujarnya.
Okumu memperkirakan, di kota Oyugis saja, sekitar 100 pemuda telah menjual ginjal mereka. Banyak dari mereka kini mengalami masalah kesehatan serius, bahkan trauma psikologis. DW mewawancarai empat di antaranya. Mereka mengaku hanya menerima 2.000 dolar AS (Rp33,6 juta) untuk ginjal mereka, dan kemudian diminta mencari donor lain dengan imbalan komisi sebesar 400 dolar AS (Rp6,7 juta) per orang.
"Ada area abu-abu dalam hukum yang dieksploitasi oleh sindikat ini. Tidak ada hukum yang melarang Anda untuk menyumbangkan ginjal demi uang dan Anda tidak dapat dituntut atas hal itu," jelas Okumu merujuk pada keterangan dari kepolisian Kenya.
Secara hukum, Kenya hanya memperbolehkan donor ginjal jika dilakukan kepada kerabat atau dengan alasan altruistik, bukan transaksi komersial.
Seorang mantan staf Rumah Sakit Mediheal mengungkap bahwa praktik ini telah berlangsung selama bertahun-tahun. Pada awalnya, penerima transplantasi berasal dari Somalia dan donor dari Kenya. Namun sejak 2022, pasien datang dari Israel, dan pada 2024, dari Jerman.
Para donor bahkan diterbangkan dari negara-negara seperti Azerbaijan, Kazakhstan, dan Pakistan. Dalam prosesnya, mereka diminta menandatangani dokumen yang menyatakan bahwa mereka adalah kerabat dari penerima organ meskipun tidak pernah bertemu sebelumnya.
"Karena kendala bahasa, mereka hanya menandatangani," ungkap mantan pegawai tersebut, yang berbicara secara anonim.
Lebih parah lagi, sebagian donor diduga masih di bawah umur dan tetap menjalani operasi tanpa persetujuan medis yang sah.
Apa yang dialami Amon dan pemuda-pemuda Kenya lainnya adalah puncak gunung es dari krisis kemanusiaan yang terbungkus dalam narasi 'kesempatan'. Dengan kemiskinan sebagai latar, jaringan perdagangan organ menawarkan 'penyelamat' yang justru berujung pada penderitaan.
Kisah ini bukan sekadar tentang uang atau organ tubuh, melainkan tentang ketidaksetaraan global, ketidakpedulian terhadap hak asasi, dan kebutuhan mendesak akan penegakan hukum serta etika medis yang lebih ketat.