Perbaikan Daya Beli Kelas Menengah Jadi Kunci Cegah PHK Massal
![]() |
Ilustrasi - Pekerja berjalan keluar pabrik melintas di samping patung pendiri Sritex HM. Lukminto di Pabrik Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) di Sukoharjo, Jawa Tengah. Dok. (ANTARA). |
PEWARTA.CO.ID - Peningkatan daya beli masyarakat kelas menengah menjadi faktor utama dalam mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri, terutama industri manufaktur. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menegaskan bahwa kelas menengah adalah pasar utama bagi produk industri, namun saat ini mereka mengalami tekanan akibat kondisi ekonomi yang kurang stabil.
"Bagaimana membenahi sisi konsumennya, terutama di daya belinya. Produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri terutama industri manufaktur memiliki pasar paling besarnya adalah kelas menengah, dan saat ini masyarakat kelas menengah paling banyak tertekan mengingat situasi ekonomi yang kurang bagus," ujar Eko di Jakarta, Senin (10/3/2025).
Saat ini, perlambatan ekonomi semakin terasa dengan melemahnya daya beli masyarakat kelas menengah. Selain itu, deflasi serta ketidakpastian akibat perang dagang global setelah Donald Trump kembali terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat memperburuk situasi.
Dampak dari penurunan daya beli ini menyebabkan perusahaan mengalami penurunan permintaan pasar. Hal ini mendorong industri untuk melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah tenaga kerja.
"Ya mau bagaimana, pertama kalau tidak ada yang beli pasti mereka (industri) mengurangi karyawan karena produksi berkurang, ketika produksi berkurang maka secara otomatis tenaga kerja juga dikurangi. Ketika pengurangan jam kerja karyawan tidak lagi efektif dalam kondisi produksi yang berkurang, lama-lama perusahaan kemudian memutuskan PHK, dan ini yang terjadi," kata Eko.
Selain meningkatkan daya beli masyarakat, Eko menekankan pentingnya kebijakan industri yang lebih kuat dan terarah dari pemerintah untuk mendukung sektor manufaktur. Ia menyoroti perlunya solusi jangka pendek bagi para pelaku industri yang sedang berjuang mempertahankan bisnisnya.
"Kebutuhan dari investor, khususnya yang memiliki pabrik saat ini adalah solusi jangka pendek, dikarenakan mereka harus segera memperbaiki neraca keuangan mereka melalui perbaikan dan upaya peningkatan penjualan produknya," kata Eko.
Sementara itu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran untuk menekan pemerintah agar melindungi pekerja dari ancaman PHK massal. Presiden KSPI, Said Iqbal, menegaskan bahwa lonjakan PHK belakangan ini menjadi alarm bagi industri nasional dan berpotensi meningkatkan angka pengangguran secara signifikan.
Kasus PHK yang terjadi di PT Sanken Indonesia menjadi salah satu contoh nyata ancaman ini. Hingga Juni 2025, hampir 1.000 buruh perusahaan tersebut telah dirumahkan. Sementara itu, sektor industri elektronik dan listrik juga mengalami pemangkasan tenaga kerja dalam jumlah besar, setelah sebelumnya sektor tekstil, garmen, dan sepatu telah lebih dulu merumahkan ratusan ribu buruh sepanjang 2024.
Pada akhir Desember 2024 hingga awal Januari 2025, PT Yamaha Music Indonesia yang berorientasi ekspor telah memberhentikan 400 pekerjanya di Cibitung, Kabupaten Bekasi. Selain itu, 700 buruh lainnya di Jakarta mengalami nasib serupa.
Di sisi lain, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah mencatat bahwa sebanyak 10.965 pekerja terdampak PHK setelah PT Sritex Tbk diputus pailit oleh pengadilan niaga. Situasi ini semakin memperjelas bahwa tanpa langkah konkret untuk meningkatkan daya beli kelas menengah, ancaman PHK di berbagai sektor industri akan terus berlanjut.
Dengan berbagai tantangan ini, peran pemerintah dan kebijakan yang mendukung industri sangat diperlukan untuk mengatasi krisis ini. Peningkatan daya beli masyarakat kelas menengah diharapkan dapat memberikan dorongan positif bagi perekonomian sekaligus mencegah gelombang PHK yang lebih besar di masa mendatang.