Iklan -- Scroll untuk lanjut membaca
Advertisement

Air Mata Perpisahan: Mengapa Orang Shalih Menangisi Ramadhan?

Air Mata Perpisahan: Mengapa Orang Shalih Menangisi Ramadhan?
Air mata perpisahan: Mengapa orang shalih menangisi Ramadhan? Ilustrasi . (Dok. Ist)

PEWARTA.CO.ID - Bulan Ramadhan yang penuh berkah telah menemani umat Islam selama sebulan penuh.

Kini, tibalah saatnya untuk berpisah dengan bulan yang membawa banyak keutamaan, termasuk kesempatan untuk meraih ampunan dan pembebasan dari siksa neraka.

Kerinduan para Salaf terhadap Ramadhan

Para ulama terdahulu begitu mendambakan kedatangan Ramadhan.

Bahkan, mereka telah berdoa selama enam bulan sebelumnya agar diberikan kesempatan bertemu dengan bulan suci ini. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali:

"Sebagian salaf berkata, dahulu mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama 6 bulan agar mereka disampaikan pada bulan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama 6 bulan agar Allah menerima (amalan mereka di bulan Ramadhan)." (Latha’if Al-Ma’arif, hal. 232).

Namun kini, Ramadhan telah berlalu. Rasa sedih menyelimuti hati orang-orang yang beriman.

Mereka bertanya-tanya, apakah amal ibadah yang telah mereka lakukan selama bulan ini diterima oleh Allah?

Tangisan Perpisahan dengan Bulan Suci

Rasulullah ﷺ sendiri merasakan kesedihan mendalam saat Ramadhan berakhir.

Beliau memahami betapa besar keberkahan yang terkandung dalam bulan ini, baik dalam bentuk rahmat, ampunan, maupun kesempatan untuk terbebas dari siksa neraka.

Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Umar bin Abdul Aziz.

Beliau bahkan menangis saat berpisah dengan Ramadhan dan mengajak sahabat-sahabatnya untuk merenungkan kepergian bulan penuh kemuliaan ini.

Dalam khutbah Idul Fitri, Umar Radhiyallahu'anhu berkata:

"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah selama 30 hari dan kalian melaksanakan shalat tarawih selama 30 malam. Di hari ini, kalian keluar (di lapangan), mengharap kepada Allah agar Dia menerima amal kalian."

Kesedihan juga tampak di wajah beberapa sahabat Nabi.

Ketika ditanya mengapa mereka bersedih pada hari yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan, seorang sahabat menjawab:

"Aku hanyalah seorang hamba, yang diperintahkan Tuhanku untuk beramal karena-Nya, dan aku tidak tahu apakah Dia menerima amalku atau tidak."

Wahb bin Al-Ward bahkan mengkritik orang-orang yang tertawa tanpa rasa takut akan diterimanya ibadah mereka. Ia berkata:

"Andaikan puasa mereka diterima, maka bukan seperti ini perbuatan yang selayaknya dilakukan orang yang bersyukur. Sebaliknya, andaikan puasa mereka tidak diterima, maka bukan seperti ini sikap yang selayaknya dilakukan orang yang takut (amalnya tidak diterima)."

Perbedaan sikap: Dulu vs sekarang

Ibnu Rajab Al-Hambali menggambarkan betapa pedihnya perpisahan dengan Ramadhan:

"Bagaimana bisa seorang mukmin tidak meneteskan air mata saat berpisah dengan Ramadhan, sedangkan ia tidak tahu apakah masih ada sisa umurnya untuk berjumpa lagi?"

Para salaf begitu mencintai bulan ini, mereka menangis karena perpisahan dengannya.

Namun, jika kita melihat keadaan di zaman sekarang, justru terjadi kebalikannya.

Di Indonesia, menjelang akhir Ramadhan, masjid-masjid mulai sepi.

Sebaliknya, pusat perbelanjaan semakin ramai, jalanan penuh dengan kendaraan, dan perhatian umat Islam lebih banyak tersita untuk urusan duniawi.

Tradisi belanja baju baru, memesan tiket mudik, dan berkumpul bersama teman sering kali mengalihkan fokus dari ibadah di sepuluh malam terakhir Ramadhan.

Ahmad Alfathoni, Lc., M.Ag., seorang dosen Universitas Muhammadiyah Malang, pernah berbagi pengalaman saat berada di Pakistan.

Di sana, tiga malam terakhir Ramadhan justru menjadi momen bagi masyarakat untuk berlomba-lomba mengkhatamkan Al-Qur'an dalam shalat Tarawih.

Sementara itu, di Indonesia, yang lebih semangat justru mereka yang tidak berpuasa tetapi paling antusias menyambut Hari Raya.

Padahal, di malam-malam terakhir itu terdapat Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Ramadhan seharusnya meninggalkan bekas dalam diri setiap Muslim.

Kesedihan atas kepergiannya bukan sekadar emosi, melainkan cerminan dari ketakwaan dan harapan akan diterimanya amal ibadah.

Mari kita tanyakan pada diri sendiri: Apakah kita benar-benar menangisi kepergian Ramadhan seperti para salaf dahulu?

Ataukah kita justru lebih sibuk dengan urusan duniawi tanpa memikirkan apakah amal kita telah diterima oleh Allah?

Semoga kita termasuk dalam golongan yang merindukan Ramadhan dan mendapat keberkahan darinya, bukan hanya sekadar merayakan Idul Fitri tanpa bekas ketakwaan di hati.


Advertisement