Iklan -- Scroll untuk lanjut membaca

Pengamat: Pengaturan Keamanan Media Sosial Perlu Lebih Inklusif

Pengamat: Pengaturan Keamanan Media Sosial Perlu Lebih Inklusif
Pengamat: Pengaturan keamanan media sosial perlu lebih inklusif. (Dok. Ist)

PEWARTA.CO.ID - Pengamat Budaya dan Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia (UI), Firman Kurniawan, menekankan pentingnya kebijakan pengaturan keamanan media sosial yang lebih inklusif.

Menurutnya, jika aturan tersebut diterapkan di Indonesia, cakupannya harus lebih luas dan tidak hanya terbatas pada kelompok usia tertentu.

Hal ini didasarkan pada fakta bahwa banyak masyarakat yang belum memiliki pemahaman yang cukup dalam bermedia sosial, sehingga rentan menjadi korban konten negatif di dunia digital.

Jadi lebih baik pengaturannya untuk penggunaan media sosial secara lebih luas. Jadi bukan hanya anak-anak saja yang harus dilindungi tapi semua pengguna media sosial.

Karena kita lihat banyak juga korban-korban media sosial yang tidak Cuma anak-anak di bawah umur tapi juga ada korban seperti ibu dan perempuan-perempuan dewasa yang jadi korban,” kata Firman saat dihubungi ANTARA, Jumat.

Ancaman kekerasan digital di media sosial

Firman menyoroti salah satu ancaman di media sosial, yaitu sextortion atau pemerasan dengan menggunakan konten seksual.

Ia mencontohkan kasus yang terjadi pada pertengahan 2024 di beberapa daerah seperti Bekasi, Jawa Barat, dan Tangerang Selatan, Banten.

Dalam kasus tersebut, seorang ibu terjebak dalam ancaman teman daringnya hingga melakukan tindakan yang membahayakan anaknya sendiri.

Menurut Firman, kasus ini menjadi bukti bahwa bahaya media sosial tidak hanya mengancam anak-anak, tetapi juga orang dewasa yang kurang memahami cara menjaga privasi di ruang digital.

Oleh karena itu, ia menilai bahwa kebijakan pengaturan media sosial sebaiknya tidak hanya berfokus pada pembatasan usia, tetapi lebih menekankan pada sistem keamanan yang melindungi semua pengguna.

Mendorong regulasi yang inklusif

Dibandingkan dengan membuat aturan yang hanya membatasi akses media sosial bagi kelompok usia tertentu, Firman berpendapat bahwa pemerintah seharusnya menciptakan mekanisme yang lebih menyeluruh.

“Jadi lebih baik pemerintah mengatur pembagian peran. Misalnya terkait relasi orang tua dengan anak dalam bermedia sosial, itu dijelaskan apa peran orang tua, apa peran anak. Lalu ada juga apa peran komunitas, dan apa peran platform, serta peran pemerintah. Jadi bukan mengatur pembatasan usia tertentu tapi lebih pas mengajarkan bagaimana menggunakan media sosial dengan cara yang tepat,” kata Firman.

Firman juga menekankan bahwa kekhawatiran terhadap dampak negatif media sosial sebetulnya bukan hal baru dalam perkembangan teknologi komunikasi.

Ia mengingatkan bahwa ketika sistem tulisan atau aksara pertama kali diperkenalkan, banyak pihak yang khawatir akan dampak buruknya.

Namun, dengan edukasi yang tepat, aksara tetap bertahan dan memberikan manfaat besar bagi peradaban manusia.

“Karena ini adalah perangkat yang bakal digunakan dalam jangka panjang sebagai perangkat untuk ekspresi budaya, maka yang tepat itu harus diajarkan cara penggunaannya yang benar,” ujarnya.

Peran platform media sosial dalam keamanan digital

Dalam menciptakan lingkungan digital yang lebih aman, Firman menekankan pentingnya peran platform media sosial dalam memastikan sistem moderasi konten yang efektif.

“Aturan ini harusnya menekankan peran platform yang harus dipastikan keamanan layanannya karena mereka yang mengadakan sortir terhadap konten-konten negatif dari platform,” kata Firman.

Ia menilai bahwa sebagai inovator teknologi, platform media sosial memiliki tanggung jawab untuk menciptakan sistem keamanan yang mampu menekan peredaran konten negatif.

Dengan demikian, pengguna dapat merasa lebih aman saat berselancar di dunia maya.

Pemerintah masih mengkaji regulasi media sosial

Terkait dengan rencana pengaturan media sosial, pemerintah saat ini masih dalam tahap kajian. Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menyatakan bahwa pihaknya masih mengumpulkan berbagai masukan sebelum merancang peraturan lebih lanjut.

“Mengenai pembatasan media sosial untuk anak-anak, itu masih kita kaji lebih lanjut dalam rancangan peraturan pemerintah atau mungkin undang-undang baru yang juga sedang dibahas,” kata Meutya di Jakarta, Kamis (30/1/2025).

Menurut Meutya, aturan ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari paparan konten negatif di dunia digital.

Namun, ia menekankan bahwa keputusan terkait pembatasan media sosial harus dibuat dengan cermat.

“Kami akan menerima semua masukan dengan hati-hati dan bijak, karena ini bukan hal yang bisa diputuskan secara terburu-buru,” katanya.

Pemerintah juga berencana melibatkan berbagai pihak dalam perumusan aturan tersebut, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kelompok pendidik, orang tua, dan pemerhati anak.

Dengan demikian, diharapkan kebijakan yang dihasilkan dapat memberikan perlindungan maksimal bagi pengguna media sosial di Indonesia.