Wakil Ketua MPR: Perguruan Tinggi Tidak Akan Sembarangan Kelola Tambang
Wakil Ketua MPR: Perguruan tinggi tidak akan sembarangan kelola tambang. (Dok. ANTARA) |
Jakarta, Pewarta.co.id – Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno, menegaskan bahwa perguruan tinggi di Indonesia tidak akan serta-merta mencari peluang untuk mengelola lahan dan usaha pertambangan.
Menurutnya, sektor pertambangan memerlukan keahlian khusus, pengalaman yang luas, serta modal yang besar.
"Perguruan tinggi berdiri dengan berbagai syarat untuk mengelola pendidikan. Karena itu, untuk memenuhi persyaratan mengelola tambang, maka konsekuensinya perguruan tinggi harus bekerja sama dengan pihak ketiga yang memiliki kemampuan dan pengalaman mengelola tambang batu bara," ujar Eddy dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Eddy menambahkan bahwa mencari mitra yang tepat untuk berkolaborasi dalam bisnis pertambangan bukanlah hal yang mudah. Prosesnya memerlukan waktu dan kehati-hatian.
"Pada titik itu, mencari partner yang sesuai dan mampu bersinergi dengan perguruan tinggi juga membutuhkan proses dan belum tentu bisa terjalin dengan cepat. Ibaratnya mencari jodoh itu tidak bisa diburu-buru, apalagi dipaksakan," lanjutnya.
Keputusan ilmiah dan kajian akademik
Lebih lanjut, Eddy menyoroti bahwa lingkungan akademik di perguruan tinggi umumnya mengambil keputusan berdasarkan pendekatan ilmiah yang rasional dan berbasis data.
Oleh karena itu, keputusan untuk terjun ke sektor pertambangan tidak akan diambil dengan tergesa-gesa.
"Kita paham bahwa perguruan tinggi berisikan para akademisi yang terbiasa melakukan analisis secara scientific, berbasis data dan rasionalitas yang tinggi. Sehingga menurut saya belum tentu mereka langsung memutuskan mengambil keputusan mengelola pertambangan," jelas Eddy.
Ia juga menambahkan bahwa kajian akademik yang mendalam diperlukan untuk menilai apakah keterlibatan dalam bisnis pertambangan akan menjauhkan perguruan tinggi dari misi utamanya sebagai lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
"Apalagi jika kajian akademik yang dilakukan mengenai usaha pengelolaan tambang batu bara ini ternyata menurut mereka berpotensi menjauhkan perguruan tinggi dari tujuan utama pendiriannya, yaitu sebagai pilar pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan," sambungnya.
Menjaga kredibilitas akademik
Eddy menekankan bahwa banyak perguruan tinggi di Indonesia yang telah berdiri selama puluhan hingga lebih dari seratus tahun dengan reputasi akademik yang kuat.
Jika masuk ke sektor usaha tambang dapat merusak kredibilitas yang telah mereka bangun selama ini, maka keputusan tersebut akan dipertimbangkan dengan sangat hati-hati.
Ia juga menyoroti potensi dampak negatif dari keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis pertambangan, seperti risiko terhadap lingkungan, masalah sosial, atau kerja sama dengan mitra yang tidak bertanggung jawab.
Tantangan pendanaan dan prospek masa depan
Eddy mengakui bahwa perguruan tinggi membutuhkan sumber pendanaan yang besar untuk terus meningkatkan kualitas dan fasilitas pendidikan.
Terlebih lagi, jika Indonesia ingin mencapai target sebagai negara maju pada tahun 2045, maka diperlukan lebih banyak universitas kelas dunia.
Dalam hal ini, peluang mengelola tambang bisa menjadi salah satu opsi sumber pendanaan.
Namun, ia menegaskan bahwa perguruan tinggi akan mempertimbangkan dengan sangat cermat sebelum memasuki sektor yang jauh berbeda dari dunia pendidikan.
"Namun saya juga meyakini, bahwa perguruan tinggi akan berpikir dan menimbang dengan sangat cermat dan penuh kehati-hatian sebelum masuk ke sektor baru yang sangat berbeda dengan dunia pendidikan ini," tutupnya.