Sumber Protein Program MBG Disesuaikan dengan Ketersediaan Lokal
Sumber protein program MBG disesuaikan dengan ketersediaan lokal. (Dok. BGN) |
Jakarta, Pewarta.co.id – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dirancang dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber protein hewani di setiap daerah, sehingga variasi menu yang disajikan tetap memenuhi standar gizi yang telah ditetapkan.
Hal ini disampaikan oleh Tim Pakar Badan Gizi Nasional (BGN), Prof. Dr. Epi Taufik, S.Pt., M.V.P.H., M.Si., dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat.
“Protein hewaninya memang selama ini yang kita lihat kalau di Jawa itu yang banyak disenangi ayam sama telur, daging sapi pun anak-anak itu tidak terlalu, paling sebulan, dua kali, tiga kali mereka minta, tapi di daerah pesisir kan ikan. Ya kita sediakan ikan. Yang penting tadi standar gizinya terpenuhi,” ujar Epi.
Standar gizi dan kebutuhan lokal
Menurut Epi, standar gizi dalam menu MBG diawasi oleh Deputi Pemantauan Pengawasan dengan merujuk pada standar Kementerian Kesehatan, sesuai jenjang usia penerima manfaat.
Ia menambahkan bahwa variasi protein hewani dalam menu MBG dapat disesuaikan dengan kebiasaan makan masyarakat setempat. Namun, kandungan gizi tetap harus diperhitungkan agar memenuhi panduan gizi seimbang.
Epi juga mengutip pernyataan Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, yang menegaskan bahwa menu MBG harus memenuhi standar keamanan pangan dan gizi. Selain itu, Sekolah Pemberi Program Gizi (SPPG) diharapkan dapat menyusun menu berdasarkan preferensi makanan daerah dan ketersediaan sumber daya lokal.
“Kalau di Halmahera, misalnya karbohidratnya bukan nasi, tetapi kalau tidak salah beliau bilang pisang yang direbus dan sagu maka itu boleh.
Mungkin di daerah tertentu mereka suka serangga, ulat sagu kan itu memang dimakan di Papua ya itu boleh bagian dari MBG. Jadi bukan berarti di Jawa yang tidak biasa makan itu disuruh, harus berbasis sumber daya lokal,” jelas Epi.
Peran ahli gizi dan ketersediaan susu
Untuk memastikan kualitas gizi yang tepat, ahli gizi yang ditugaskan di dapur sentral bertanggung jawab dalam menghitung kandungan nutrisi dari setiap bahan makanan, termasuk protein hewani yang berasal dari sumber daya lokal.
Selain itu, Epi mengungkapkan bahwa distribusi susu gratis dalam program MBG juga akan dilakukan secara bertahap, menyesuaikan dengan tingkat produksi susu di dalam negeri. Ia menyoroti bahwa produksi susu sapi perah di Indonesia masih terbatas, sehingga distribusi perlu disesuaikan dengan ketersediaan di setiap wilayah.
Evaluasi dan peningkatan program MBG
Meskipun program MBG telah berjalan, Epi mengakui bahwa masih ada beberapa tantangan dalam implementasinya.
Beberapa kendala awal, seperti makanan yang kurang matang hingga kasus keracunan siswa, menjadi perhatian utama.
Oleh karena itu, BGN terus melakukan evaluasi dan memperketat pengawasan dalam pendistribusian MBG agar kualitas dan keamanannya tetap terjaga.
Dengan adanya perbaikan sistem dan penyesuaian menu berdasarkan potensi lokal, diharapkan program MBG dapat memberikan manfaat maksimal bagi anak-anak di seluruh Indonesia, serta memastikan mereka mendapatkan asupan gizi yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan.