Bisnis impor pakaian bekas (thrifting) tengah menjamur di Indonesia. (Dok. Ist) |
PEWARTA.CO.ID - Yayasan Komunitas Thrifting Indonesia (KTI) telah menyampaikan permohonan kepada Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, agar pemerintah memberikan diskresi terbatas larangan impor pakaian bekas yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022. Langkah ini diharapkan menjadi solusi bagi pelaku thrifting yang selama ini menggantungkan hidupnya dari sektor ini.
Ketua Umum KTI, Aloysius Maria Tjahja Adji, dalam pernyataan resminya di Jakarta, Sabtu (21/9/2024) lalu, menyampaikan bahwa pihaknya sangat berharap pemerintah mempertimbangkan dengan bijak permohonan tersebut.
Menurutnya, thrifting atau penjualan pakaian bekas sangat berperan penting bagi ekonomi masyarakat kecil, khususnya dalam mendukung ekonomi sirkular.
"Kami pengurus yayasan menyatakan bahwa pakaian bekas justru mendukung ekonomi sirkular serta lebih ramah lingkungan karena dapat meminimalkan sampah rumah tangga," kata Maria dikutip ANTARA.
Dalam surat resmi yang dikirimkan oleh KTI, mereka mengusulkan agar impor pakaian bekas bisa diperbolehkan dalam skala yang terbatas, baik dari segi jumlah maupun volume.
KTI juga menyarankan agar pelabuhan-pelabuhan tertentu ditunjuk sebagai pintu masuk barang-barang impor ini untuk memudahkan pengawasan.
Lebih jauh lagi, KTI meminta Kemendag melakukan kajian lebih lanjut terkait dasar-dasar yang menjadi landasan penerbitan aturan tersebut. Mereka juga menegaskan bahwa jika permohonan diskresi ini tidak dipenuhi, KTI akan mempertimbangkan untuk menempuh jalur hukum guna melakukan revisi terhadap Permendag tersebut.
Aloysius mengungkapkan bahwa thrifting kini telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Berdasarkan data yang dimiliki oleh KTI, hampir 50 persen anak muda di Indonesia telah mencoba membeli pakaian bekas, menandakan bahwa tren ini semakin populer.
Ia menekankan bahwa larangan impor pakaian bekas yang beralasan melindungi industri tekstil nasional dinilai tidak sepenuhnya akurat. Menurutnya, masalah yang dihadapi oleh sejumlah pabrik pakaian di Indonesia lebih disebabkan oleh persoalan manajemen dan keuangan internal, bukan semata-mata karena kompetisi dengan produk thrifting.
Satu hal lain yang disoroti oleh KTI adalah adanya kebijakan yang dianggap tidak konsisten. Pemerintah Indonesia memperbolehkan impor barang bekas lain seperti pesawat, kapal, dan alat medis, tetapi di sisi lain melarang impor pakaian bekas yang dianggap tidak berisiko tinggi bagi masyarakat.
KTI juga menyoroti bagaimana negara tetangga seperti Malaysia dan Timor Leste justru memanfaatkan impor pakaian bekas sebagai sumber pendapatan negara. Mereka berharap Indonesia bisa belajar dari kebijakan negara-negara tersebut, sehingga regulasi yang diterapkan bisa lebih adil bagi semua pihak.
Permohonan diskresi terbatas ini menjadi salah satu langkah yang diambil oleh KTI untuk mempertahankan keberlangsungan bisnis thrifting di Indonesia.
Jika usulan ini tidak direspons oleh pemerintah, KTI berencana melakukan advokasi hukum guna memastikan hak para pelaku usaha tetap terlindungi.
Dalam pandangan KTI, pakaian bekas bukan hanya sekadar komoditas, tetapi juga solusi bagi tantangan lingkungan dan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat kecil.