Gen Z atau generasi yang lahir di tahun 1997-2012 (Dok. Ist) |
PEWARTA.CO.ID - Generasi Z (Gen Z) seringkali memiliki kebiasaan buruk, yaitu mudah berutang, menurut Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu).
Oleh karena itu, Kemenkeu mendorong agar Gen Z melek berinvestasi, khususnya dalam instrumen Surat Berharga Negara (SBN). Menurut Direktur Surat Utang Negara DJPPR Kemenkeu, Deni Ridwan, generasi milenial merupakan komposisi investor terbanyak di SBN ritel dengan porsi di atas 50%, sedangkan porsi Gen Z masih rendah, hanya sekitar 2-3%.
Generasi milenial lahir antara tahun 1981 hingga 1996, sedangkan generasi Z lahir antara tahun 1997 hingga 2012.
“Justru saya itu melihat, tantangannya ke depan, terutama untuk Gen Z itu terlalu mudah untuk berutang. Sekarang kalau beli di e-commerce, sepertinya langsung ada tawaran untuk paylater gitu, jadi lebih mudah untuk bayar melalui pinjaman dibandingkan dengan cash,” ujar Deni di Jakarta, dikutip Selasa (18/6/2024).
Deni menyebutkan, hal ini menjadi tantangan bagi Kemenkeu untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pengelolaan keuangan yang baik agar tidak terjebak dalam kehidupan yang sulit karena tidak memiliki aset yang cukup untuk menghadapi masa tua.
“Sehingga, saya sering bilang ke teman-teman Gen Z kalangan anak muda dan mahasiswa, jangan sampai gaya hidup kita hari ini dibiayai dengan pendapatan kita di hari esok. Yang paling keren itu adalah kalau biaya hidup kita di hari esok dibiayai dari pendapatan negara melalui SBN,” jelasnya.
Namun, ia juga mengakui bahwa sejak pandemi Covid-19, tingkat kesadaran masyarakat dalam berinvestasi mengalami peningkatan yang cukup tinggi untuk menghadapi kondisi tak terduga.
Sejalan dengan hal ini, realisasi investasi di instrumen SBN ritel terus bertumbuh setiap tahun. Pada 2022, realisasi penerbitan SBN ritel tembus Rp107 triliun, sementara pada 2023 meningkat sebanyak 37,8% secara year-on-year (YoY) menjadi Rp147,42 triliun.
Kemenkeu menargetkan penerbitan SBN ritel sebesar Rp140 triliun hingga Rp160 triliun pada 2024.
Deni juga menyoroti tantangan lain bagi penerbitan SBN ritel, seperti faktor global yaitu potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang dapat mempengaruhi kemampuan investasi masyarakat.
"Karena itu akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di berbagai negara, termasuk Indonesia, meskipun ekonomi Indonesia masih diprediksi bisa tumbuh di atas 5%. Tapi ini tentu menjadi sesuatu yang kami cermati, perlambatan ekonomi akan mempengaruhi alokasi investasi masyarakat," pungkasnya.
Saat ini, Bank Sentral AS Federal Reserve (The Fed) masih menahan suku bunga di kisaran 5,25%-5,5%. Sementara itu, suku bunga Bank Indonesia (BI) saat ini berada di level 6,25% sebelum Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 19-20 Juni 2024. Kemenkeu juga menawarkan SBN ritel Savings Bond Ritel seri SBR013 dengan periode penawaran mulai 10 Juni hingga 4 Juli 2024.
Kuota awal yang ditawarkan sebesar Rp15 triliun, namun diproyeksikan bisa bertambah hingga Rp20 triliun jika minat masyarakat tinggi. SBR013 tersedia dengan dua tenor, yaitu tenor 2 tahun dengan kupon 6,45%, dan tenor 4 tahun dengan kupon 6,60% per tahun.