GfM7GfzpGpW0BUOlGfO8TSCiBY==

Qhisas Perspektif Sejarah - Oleh Irhamil Muthoharoh

Qhisas Perspektif Sejarah - Oleh Irhamil Muthoharoh
Ilustrasi. Hukuman dalam syariat Islam.

PEWARTA.CO.ID - Beberapa kelompok Islam masih menginginkan Indonesia menjadi negara Islam dan menerapkan hukum-hukum Islam, dan orang-orang yang berpandangan tekstual akan menganggap qishahs hukumnya wajib seperti halnya diwajibkannya puasa karena dalam ayatnya menggunakan lafadz kutiba yang berarti diwajibkan.

Qishas berasal dari kata qashsha-yaqushshu-qashshan wa qashashan, yaitu mengikuti jejak. Dari akar kata yang sama, kata Qishas berati "kisah" karena orang yang berkisah mengikuti peristiwa yang terjadi secara bertahap. Lebih lanjut, kata Qishash ini berarti mengikuti atau membalas pembunuhan darah dengan cara yang sama.

Qishas juga berarti "setimpal" atau "sepadan", yang berarti bahwa orang yang melakukan kejahatan harus mendapatkan hukuman yang sama dengan apa yang mereka lakukan. Qishas mencegah permusuhan atau dendam antara keluarga korban dan pelaku dengan memberikan keadilan kepada korban.

Sedangkan sejarah adalah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari semua aspek kehidupan manusia dan bagaimana mereka berkembang. berubah, atau dinamika kehidupan masyarakat dengan segala aspek kehidupannya yang terjadi pada masa lampau.

Pendekatan sejarah ini bertujuan untuk mengikuti jejak asal-usul dan evolusi ide serta memproyeksikan peran dari kekuatan-kekuatan yang signifikan dalam membentuk agama, sebab agama itu sendiri berkembang dalam konteks situasional yang spesifik, bahkan terkait erat dengan kondisi sosial masyarakat. (Romdon, 1996:77)

Al-Qur'an pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yang pertama mencakup konsep-konsep, dan yang kedua melibatkan narasi sejarah serta perumpamaan. (Kuntowijoyo, 1991:327) Dalam Al-Qur'an, kata "qishashh" ditemukan dalam empat ayat, yaitu surat Al-Baqarah ayat 178, 179, dan 194, dan surat Al-Maidah ayat 45:


1. Surat Al Baqarah ayat 178-179

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَىٰ بِالْأُنْثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. an dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”


2. Surat Al-Baqarah ayat 194

الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ ۚ فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

Artinya: “Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”


3. Surat Al-Maidah Ayat 45

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”


Ayat Qishas diturunkan oleh Allah sebagai tanggapan atas tindakan masyarakat jahiliyah yang memperlakukan pembunuh secara tidak adil. Ketentuan hukum adat yang menekankan keadilan pribadi yang mengutamakan balas dendam, karena sebelum balas dendam perasaan korban tidak akan nyaman atau tenang namun satu nyawa tidak cukup untuk membayar satu nyawa yang terbunuh, jadi suku atau kabilah yang akan bertanggung jawab atas anggotanya.

Peristiwa ini sangat berbeda setelah kedatangan Islam, Al-Qur'an menetapkan pembalasan yang adil dan setara untuk pembunuhan atau melukai badan. Tafsir ibnu katsir menyebutkan sebab turunnya ayat ini bahwa pada waktu itu ada dua suku bangsa arab yang saling berperang pada masa jahiliyah beberapa waktu sebelum datangnya islam. diantara mereka terjadilah pembunuhan dan pelukaan, sehingga mereka membunuh budak-budak dan kaum wanita dengan berlebihan dalam hal itu turunlah ayat ini sebagai sinyal untuk penetapan hukum syariat Qishas”. (Katsir, 1997: 498)

Sebenarnya sebelum islam ada Bani Israel yang sudah menegakkan qishash, Qishas juga merupakan salah satu prinsip hukum yang terdapat dalam Kode Hammurabi, yang berarti “balas dendam” atau “penggantian yang setara”.  akan tetapi mereka belum menggunakan diyat, maka dari itu diturunkanlah firman Allah ta’ala, {كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ} hingga firmanNya, {فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ}. Arti “memaafkan” (العَفْو) dalam ayat ini ialah meninggalkan qishash dan menerima diyat (ganti rugi) yang dibayarkan oleh pelaku sebagai pengganti hukuman qishash. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu rahmatan lil ‘alamin.

Konsep qishas telah mengalami perkembangan sepanjang sejarah Islam. Pada awalnya, qishas digunakan untuk menegakkan hukum dalam masyarakat yang baru-baru ini masuk Islam. Namun, seiring berjalannya waktu dan perkembangan hukum Islam, pengaturan qishas menjadi lebih rinci dan rumit. Selama masa Khilafah Rashidun, yaitu masa kepemimpinan empat khalifah pertama dalam Islam, prinsip-prinsip qishas diterapkan secara ketat. Mereka memastikan bahwa hukum qishas diterapkan dengan adil dan berdasarkan pada prinsip-prinsip Islam.

Kemudian, selama masa Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, hukum Islam mengalami perkembangan lebih lanjut. Kitab-kitab hukum, seperti Kitab al-Siyar karya Imam al-Shaybani yang membahas masalah-masalah qishas secara rinci. Selama berabad-abad, hukum qishas terus berkembang sesuai dengan kebutuhan dan perubahan dalam masyarakat.

Membaca ayat yang berhubungan dengan qishas, disana ada alternatif pilihan, tidak mutlak bahwa hukuman mati harus dilaksanakan, terdapat pilihan bagi keluarga korban untuk memaafkan terdakwa sebagai gantinya, korban boleh membayar diyat sesuai yang telah disepakati, bahkan beberapa ayat menganjurkan pemberian maaf atau berdamai merupakan perbuatan yang terpuji dan diapresiasi.

Salah satu paradigma dalam domain ilmu sejarah adalah pendekatan analitis kritis yang mengulas rentang sejarah dengan memfokuskan perhatian pada dimensi-dimensi sosial, politik, dan kultural.

Ajaran Islam yang berkaitan dengan qishas adalah ajaran yang bersifat transisional yang merupakan konsekuensi dari tuntutan sosiohistoris  masyarakat arab pada waktu, sehingga untuk kebutuhan masa sekarang ketika tuntutan kemanusian global menghendaki adanya penghormatan tinggi kepada harkat dan martabat manusia, maka ajaran yang membolehkan hukuman mati itu dianggap sudah tidak berlaku, karena tidak sesuai dengan tujuan kemaslahatan manusia yang menjadi inti bangunan syariat. (Mulia, 2020:659)


Daftar Pustaka

  • Batubara, Chuzaimah. 2010.  Qishas: Hukuman Mati dalam Perspektif al-Qur’an. dalam Jurnal “Miqot” Vol. XXXIV, No. 2.
  • Katsir,Ibnu. 1997. Tafsir al- Qur’an al ’Adhim. Riyadl: Dar Thoyyibat Lin Nasyr.
  • Romdon. 1996. Metodologi Ilmu Perbandingan Agama.  Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
  • Mulia, Musdah. 2020. Ensiklopedia Muslimah Reformis.Tanggerang: Baca, 2020.


Artikel ini ditulis oleh:

Nama: Irhamil Muthoharoh

Email: irhamilmuthoharoh19@gmail.com

WhatsApp: 081553809007


Irhamil Muthoharoh
Foto: Irhamil Muthoharoh


Biodata singkat:

Irhamil Muthoharoh, lahir di desa Payaman, Solokuro, Lamongan, Jawa Timur, pada tanggal 19 September 2000. Puteri dari orangtua Sulaiman dan Mutrofin.

Jenjang Pendidikan S1 ditempuh di Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah, Lamongan, mengambil jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir fakultas Ushuluddin.

Lulus pada tahun 2022. Saat ini menjadi sedang menempuh magister ilmu al-Qur’an dan Tafsir di Universitas PTIQ .

Karya tulisnya antara lain skripsinya yang berjudul Involuntary Childless (Analisis Pendekatan Ma’na Cum Maghza Karya Sahiron Syamsuddin), dan Pemikiran Hermeneutika Tafsir.


Baca juga: Jasa Penerjemah [Ad]


(*Adv)

***
Dapatkan berita Indonesia terkini viral 2025, trending, serta terpopuler hari ini dari media online Pewarta.co.id melalui platform Google News.

Ketik kata kunci lalu Enter