Begini Cara Seorang Stoic Person Mencegah Kecemasan di Media Sosial, Cek Apakah Kamu Punya Sifat Stoicism?
Ilustrasi. Stoic personality (Stoicism). |
PEWARTA, LIFESTYLE - Dalam era yang dipenuhi oleh penggunaan media sosial yang meluas, kekhawatiran akibat eksposur berlebihan terhadap platform-platform ini semakin meningkat.
Stoicism, filsafat kuno yang menekankan kontrol diri dan ketenangan dalam menghadapi kehidupan, menawarkan pendekatan yang relevan dalam mengatasi dampak negatif dari penggunaan media sosial.
Artikel ini akan menjelajahi empat cara ala stoicism yang dapat membantu mencegah kekhawatiran yang timbul akibat penggunaan berlebihan media sosial.
Dari pengendalian diri hingga memprioritaskan refleksi pribadi, konsep-konsep stoic personality menawarkan solusi untuk mengatasi dampak negatif dan menjaga keseimbangan dalam penggunaan media sosial.
Berikut 4 cara seorang stoic person mencegah kecemasan di media sosial, barangkali bisa menjadi solusi buat kamu yang juga merasakan hal yang sama.
Coba cek, adakah di antara sifat stoicism tersebut pada dirimu? Jika iya, maka tips ini juga cocok untuk kalian.
1. Sadari bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan
Dalam kehidupan modern yang serba terkoneksi, konsep Stoicism tentang fokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan menjadi semakin relevan.
Kata-kata bijak Epictetus dalam "Enchiridion"-nya menegaskan prinsip fundamental ini dengan kejelasan: "Ada hal-hal yang berada di bawah kendali kita, ada hal-hal yang tidak dibawah kendali kita."
Makna dari kutipan ini tidaklah sebatas sekadar ungkapan. Ia mengajak kita untuk membedakan antara apa yang berada dalam jangkauan kontrol kita dan apa yang tidak.
Segala jenis interaksi di media sosial, mulai dari komentar hingga postingan pamer dari teman, termasuk dalam kategori hal-hal yang tidak terkendali oleh kita.
Melalui pemahaman ini, kita diberi kesempatan untuk membebaskan diri dari tekanan serta kekhawatiran yang muncul akibat hal-hal yang berada di luar jangkauan kendali kita.
Fokus pada apa yang dapat kita kendalikan memberi keleluasaan untuk mengelola sikap, reaksi, dan tindakan kita terhadap suatu situasi.
Ketika kita memusatkan perhatian pada aspek-aspek yang ada dalam genggaman kita, kita membuka pintu menuju kebahagiaan yang lebih dalam.
Ini bukanlah tentang mengabaikan situasi atau realitas, melainkan tentang memilih untuk merespons dengan cara yang lebih produktif dan sehat terhadap apa yang terjadi di sekitar kita.
Melatih diri untuk bahagia dengan apa yang dapat kita kendalikan adalah langkah awal menuju kedamaian batin yang lebih kokoh dalam era yang terus terhubung ini.
Ini bukan berarti mengabaikan dunia di sekitar kita, tetapi sebaliknya, menghadapi dunia dengan bijak dan tenang, mengenali batas-batas yang kita miliki dalam memengaruhi hasil dari situasi yang muncul di depan kita.
Dengan demikian, kita membangun landasan yang kokoh untuk menjalani kehidupan yang lebih tenang, lebih terfokus, dan lebih bermakna di tengah dinamika dunia yang terus berubah.
2. Berhenti membandingkan diri dengan orang lain
Saat kita membuka media sosial, seringkali kita disuguhkan oleh pemandangan kebahagiaan, prestasi, dan momen-momen indah dari kehidupan orang lain.
Mungkin saja ada teman yang baru saja memposting foto motor barunya yang mengkilat atau mantan yang tiba-tiba mengumumkan pernikahannya hanya beberapa minggu setelah putus.
Namun, penting untuk diingat bahwa yang kita lihat di media sosial tidak selalu mencerminkan keseluruhan kenyataan.
Sosial media, dalam banyak hal, adalah sebuah panggung di mana orang-orang memamerkan sisi terbaik dari diri mereka.
Mereka menampilkan momen-momen gemilang, kebahagiaan yang berkobar, dan pencapaian-pencapaian yang memukau, seringkali tanpa membagikan perjuangan atau kesulitan yang mungkin mereka hadapi di balik layar.
Dalam keadaan seperti ini, sering kali kita terjebak dalam perangkap perbandingan yang tidak sehat, merasa tidak puas dengan kehidupan kita sendiri karena membandingkannya dengan highlight reel kehidupan orang lain di media sosial.
Kita perlu menyadari bahwa apa yang diposting di media sosial hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan kehidupan seseorang.
Mereka hanyalah potongan-potongan cerita yang dipilih dengan cermat untuk ditampilkan di depan publik.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang pasti menghadapi tantangan, kegagalan, dan momen-momen sulit yang tidak selalu dibagikan di media sosial.
Ini mengingatkan kita bahwa standar kehidupan 'normal' atau 'bahagia' yang kita lihat di sana mungkin tidaklah seindah atau seringkali tidak mewakili kenyataan yang sebenarnya.
Dengan memahami dan menerima fakta ini, kita dapat membebaskan diri dari tekanan untuk selalu mengejar standar yang seringkali tidak realistis.
Kita bisa membebaskan diri dari sikap membanding-bandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang terpampang di media sosial.
Yang paling penting adalah fokus pada perjalanan kita sendiri, memprioritaskan kebahagiaan, pertumbuhan, dan keberhasilan yang berasal dari nilai-nilai yang autentik bagi diri kita sendiri.
Dengan begitu, kita bisa menjalani kehidupan yang lebih bermakna, lebih memuaskan, dan lebih autentik di luar layar media sosial yang penuh dengan potongan cerita yang terkadang kurang mewakili kenyataan sebenarnya.
3. Jangan terlalu terpengaruh dengan perkataan orang lain
Ketika kita merenungkan tentang bagaimana pandangan orang lain mempengaruhi tindakan dan keputusan kita, seringkali kita menemukan diri kita terjebak dalam perangkap untuk terlalu bergantung pada opini orang lain.
Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa dalam menjalani kehidupan, kita tidak boleh terlalu terpaku pada pendapat orang lain sehingga kehilangan identitas atau mengorbankan keaslian diri kita sendiri.
Filsafat Stoicism tidak menyarankan kita untuk membutakan diri terhadap pandangan orang lain, namun lebih kepada kebijaksanaan dalam memilih mana yang benar-benar berguna bagi perkembangan diri kita.
Dalam salah satu karyanya yang terkenal, 'Meditations', Marcus Aurelius, seorang tokoh Stoicism yang dihormati, menyampaikan pandangannya tentang menerima kritik dari orang lain.
Ia menyatakan bahwa jika ada yang mampu membuktikan kesalahan atau kekeliruan dalam tindakan kita, kita harus bersedia untuk berubah. Menemukan kebenaran yang tidak merugikan siapa pun adalah hal yang dihargai.
Namun, penipuan terbesar adalah ketika kita terus-menerus menipu diri sendiri dengan mempertahankan kesalahan yang kita sadari sebenarnya salah.
Pendapat orang lain bisa menjadi cermin yang berguna bagi kita untuk melihat sisi lain dari diri kita sendiri.
Namun, hal yang paling penting adalah sikap terbuka untuk menerima kritik dan bersedia berubah jika ada kesalahan yang ditemukan.
Dalam hal ini, mendengarkan pandangan orang lain bukanlah sekadar upaya untuk mengambil informasi, tetapi juga merupakan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi yang lebih baik.
Kemampuan untuk mengevaluasi diri sendiri dan menerima kritik konstruktif dari orang lain menandakan sikap bijaksana yang tidak hanya berorientasi pada perkembangan diri, tetapi juga pada kebenaran yang lebih tinggi dan tidak pernah melukai siapapun.
Oleh karena itu, dalam menimbang pendapat orang lain, penting bagi kita untuk membedakan mana yang benar-benar membawa manfaat bagi perkembangan pribadi kita dan mana yang tidak.
Sikap ini memungkinkan kita untuk mempertahankan identitas serta integritas diri, sambil tetap terbuka untuk pembelajaran dan pertumbuhan yang lebih baik.
4. Fokus pada nilai dan tujuan hidup
Pentingnya memusatkan perhatian pada nilai-nilai dan tujuan hidup kita dalam menghadapi tantangan media sosial tidak bisa diabaikan.
Di zaman di mana kita sering terpapar oleh informasi yang bermacam-macam, menjaga kestabilan mental dan emosional menjadi semakin penting.
Konsep Stoicism, seperti yang terkandung dalam prinsip "eudaimonia", mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati dapat dicapai melalui pertumbuhan pribadi dan pemahaman yang lebih dalam tentang diri kita sendiri.
Namun, dalam menghadapi arus informasi dan opini di media sosial, seringkali kita tergoda untuk melepas nilai-nilai dan tujuan hidup kita demi mendapatkan pengakuan atau persetujuan dari orang lain.
Stoic person menawarkan nasihat bijak untuk tetap setia pada nilai-nilai serta tujuan yang kita pegang. Ini mencakup penghindaran terhadap komentar atau respons yang bertentangan dengan keyakinan atau prinsip kita, serta menahan diri dari terlibat dalam perdebatan yang tidak produktif.
Prinsip Stoicism tentang mengendalikan diri dan fokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan sangat relevan dalam mengelola dampak negatif dari media sosial terhadap kesejahteraan mental dan emosional kita.
Memahami bahwa tidak semua hal berada dalam kendali kita, seperti bagaimana orang lain bertindak atau merespons, memungkinkan kita untuk melepaskan diri dari tekanan perbandingan sosial yang seringkali tidak realistis.
Ini memberi kita ruang untuk meneguhkan nilai-nilai serta tujuan hidup yang sesuai dengan kepercayaan kita, sehingga kita bisa menjauhkan diri dari kekhawatiran yang tidak perlu yang mungkin muncul dari interaksi di dunia maya.
Dalam konteks ini, fokus pada nilai-nilai dan tujuan hidup kita bukanlah sekadar perintah untuk menutup telinga terhadap pandangan orang lain.
Sebaliknya, hal ini merupakan upaya untuk mengatur bagaimana kita berinteraksi dengan informasi dan opini di media sosial agar sesuai dengan kesejahteraan kita.
Dengan memprioritaskan hal-hal yang benar-benar kita kendalikan, yaitu nilai-nilai serta tujuan hidup kita sendiri, kita dapat mempertahankan kedamaian batin, meningkatkan pemahaman diri, dan mencapai kebahagiaan yang sejati.