Bantuan air bersih disalurkan kepada warga yang daerahnya terdampak akibat kekeringan selama musim kemarau. (Dok. BPBD Lamongan) |
PEWARTA.CO.ID - Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lamongan mencatat sebanyak 49 desa dan 13 kecamatan di Lamongan tengah mengalami krisis air bersih akibat dampak kekeringan.
Bahkan, jumlahnya masih mungkin bertambah seiring kualitas air bersih yang kian berkurang di beberapa daerah lain, seperti Kecamatan Glagah dan Deket.
Kepala BPBD Lamongan Joko Raharto mengatakan, sejumlah daerah mengalami krisis air bersih, sebab terjadi penurunan kualitas air menjadi payau.
"Per 21 Oktober, 13 kecamatan dilaporkan kekeringan. Selain itu ada 2 kecamatan yang berpotensi terjadi kekeringan, yaitu Glagah dan Deket di mana ada penurunan kualitas air yang berubah menjadi payau," kata Joko dilansir detikjatim, Selasa (24/10/2023).
Kondisi kekeringan yang terjadi di Lamongan ini sudah sesuai dengan perkiraan pemerintah setempat yang memprediksi dampak kekeringan akibat kemarau panjang di daerah tersebut.
Bahkan seiring dengan dikeluarkannya SK Bupati perihal status darurat kekeringan di 13 kecamatan yang nyatanya terbukti tengah mengalami krisis air bersih.
Kawasan yang menjadi perhatian di antaranya Tikung, Sugio, Mantub, Kembangbahu, Sukodadi, Sarirejo, Modo, Biluluk, Sukorame, Kedungpring, Babat, Sambeng, serta Lamongan.
BPBD Lamongan sendiri kini tengah gencar mendistribusikan bantuan air bersih untuk sejumlah daerah terdampak.
"Dropping air bersih terus kita lakukan hingga saat ini. Kami juga rutin dan terus menerus melakukan koordinasi dengan kepala desa terkait hal ini," ungkap Joko.
Joko juga berharap agar semua stakeholder terkait dapat bekerja sama untuk mengatasi dampak kekeringan ini agar kondisinya tak semakin parah.
Selain itu, perlu juga diwaspadai ancaman bencana lain yang bisa terjadi sewaktu-waktu seperti banjir bandang, banjir rob, cuaca ekstrem, gempa bumi, kekeringan, tanah longsor, kebakaran hutan lahan, hingga menyebarnya epidemi wabah penyakit.
"Kita berdiskusi guna menyatukan visi perihal penanganan pasca bencana yang rutin digelar 2 tahun sekali guna mengetahui secara rinci pola strategi antisipasi dan penanggulangan," paparnya.
"Tujuannya agar nanti regulasi yang ditetapkan bisa sesuai dengan kondisi lapangan serta penyelesaian dan penanganan bila terjadi bencana di wilayah masing-masing," pungkasnya.