Akuat Supriyanto, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran Bandung. |
ISU EKSPLOITASI anak dalam dunia pendidikan muncul kembali dalam berbagai perbincangan publik. Salah satunya di SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI). Pemicunya adalah laporan polisi dari belasan alumni yang sudah lebih dari 10 tahun lulus dari SMA SPI kepada Polda Bali dan Polda Jatim, atas apa yang mereka alami di sekolah, belasan tahun yang lalu.
Bagi para pemangku kepentingan bidang pendidikan, tuduhan kepada SMA SPI itu tentu saja mengagetkan. Sebab, SMA ini cukup terkenal. Dianggap berhasil dalam penerapan konsep pendidikan yang menitikberatkan pada penguasaan life skills (ketrampilan hidup). Keberhasilan tersebut ditandai dengan seringnya sekolah tersebut menghiasi pemberitaan media lantaran prestasi dan kiprahnya dalam berbagai ajang nasional dan internasional.
Bukan itu saja. SMA yang berlokasi di Kota Batu, Jawa Timur, tersebut selama ini juga dikenal luas sebagai ikon penyelenggaraan pendidikan gratis kepada kalangan miskin. Seluruh siswa yang diterima di sana merupakan anak tak berpunya dengan kategori yatim, piatu, dan yatim piatu dari seluruh provinsi di Indonesia.
Lebih hebat lagi, sekolah yang konon digagas oleh beberapa mantan aktivis mahasiswa tahun 90-an dari Surabaya itu juga menyemai pemahaman tentang keberagaman dan toleransi secara kuat di kalangan siswanya. Sekolah itu bahkan menyediakan tempat ibadah dari lima agama yang dianut siswa. Siswa-siswi yang menganut lima agama itu juga secara bergantian membersihkan rumah ibadah, walaupun agama bersangkutan yang tidak dianutnya. Karena itulah, SMA itu kerap menjadi “laboratorium hidup” bagi peneliti yang mendalami isu-isu toleransi dan keberagaman.
Tuduhan adanya eksploitasi ekonomi dari para alumni itu tentu bak petir di siang bolong bagi para pembela konsep pendidikan life skills di sekolah. Bahwa, siswa-siswa perlu dibekali dengan berbagai kecakapan untuk menghadapi berbagai problem hidup, secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi guna mengatasinya. Menteri Nadiem Makarim yang memperkenalkan Program Merdeka Belajar, jika tahu, saya kira juga akan kaget. Sebab, program tersebut, salah satunya, juga berintikan pada pendidikan life skills.
Dalam sejarah Indonesia, mungkin ini baru kali pertama, praktek pendidikan yang bersumber dari sebuah konsep yang dikembangkan secara lokal dan internasional dihadapkan pada kemungkinan kriminalisasi. Praktik-praktik pengembangan kecakapan hidup yang berintikan pada pemahaman dunia kerja, keterampilan praktis untuk ‘survival’ dalam kehidupan, manajemen pengembangan diri, dan keterampilan sosial, dihadapkan pada tudingan bahwa telah terjasi “penghisapan” kepada anak didik.
Dalam pengakuan kepada polisi, belasan alumni tersebut mengaku diwajibkan berjualan kripik dan mengerjakan berbagai aktivitas lain tanpa digaji saat menjalani masa pendidikan. Anehnya, peristiwa yang dituduhkannya itu terjadi belasan tahun yang lalu. Respons sigap kepolisian yang telah melakukan olah TKP (Tempat Kejadian Perkara) di lokasi SMA tersebut, Agustus lalu, di satu sisi perlu diapresiasi. Tetapi, di sisi lain, aparat penegak hukum tampaknya juga perlu berhati-hatian karena ujung dari kasus hukum ini dapat berdampak luas bagi dunia pendidikan di tanah air.
Akhir dari kasus ini akan menjadi preseden hukum bagi sekolah, pesantren, dan wahana pendidikan lain yang mengedepankan konsep pendidikan life skills. Ada sebanyak 27 ribu pesantren di Indonesia, sebanyak 4.500 di antaranya berada di Jawa Timur. Sebagian besar pesantren, dinyatakan dalam kurikulum resmi maupun tidak, mengedepankan konsep pendidikan life skills, di mana santri bukan saja difasilitasi untuk menjadi ahli agama tetapi juga menguasai “ilmu hidup”.
Adalah hal yang biasa di pesantren ketika para santri mendapatkan giliran membersihkan toilet, ikut menjaga toko Kopontren (Koperasi Pondok Pesantren), memelihara ikan di kolam yang ada di area pondok, atau membantu urusan sehari-hari Kiai. Kecakapan mengerjakan hal-hal tersebut bukan dipandang sebagai eksploitasi ekonomi tetapi sebagai bekal hidup santri kelak jika harus boyong dan kembali kepada masyarakat. Selain itu, berbagai tugas dikerjakan santri dipandang sebagai sarana untuk mendapat berkah dari Kiai.
Latar belakang sosiologis dan kultural dari penerapan konsep pendidikan lifekills semacam itu harus dipahami dengan cermat oleh aparat penegak hukum agar tidak salah langkah dalam mengusut kasus tuduhan eksploitasi ekonomi anak di dunia pendidikan.
Merujuk pada penelusuran sejarawan NU (alm) KH. Ng. Agus Sunyoto, jejak-jejak konsep pendidikan life skills sesunggunnya dapat ditemukan di dalam model-model pendidikan asali di nusantara. Menurut beliau, model pendidikan kuna seperti padepokan, ashrama, pedukuhan, dan pesantren mempersiapkan atau menggembleng para cantrik dan santri menjadi orang yang tidak saja memahami ilmu pengetahuan atau ilmu agama) tetapi juga memiliki ketrampilan-ketrampilan praktis yang diperlukan dalam hidup bermasyarakat.
Dalam berbagai riwayat mengenai KH Hasyim Asy’ari dikisahkan, sang Hadratussyaikh bukan saja seorang Kiai yang hanya mengajarkan ilmu agama tetapi beliau juga ilmu bertani kepada para santrinya. Setiap waktu senggang, khususnya di hari Selasa dan Jumat, kiai pendiri NU itu mengajak para santri bercocok tanam di sawah atau merawat ikan-ikan di kolam. Beliau mengajari santri keterampilan menggunakan mencangkul, menanam padi dan melaksanakan panen, namun tetap tidak meninggalkan waktu salat maupun jadwal pembelajaran di dalam pesantren.
Pertanian itu pula yang menghidupi Pondok Pesantren Tebuireng yang dipimpin Hadratussyaikh. Tidak semua santri berasal dari kalangan berada, sehingga diperlukan strategi untuk mencukupi kebutuhan secara mandiri. Kiai Hasyim tak pernah memberlakukan tarif biaya pendidikan kepada para santri apalagi meminta sumbangan kanan kiri.
Solusi utama kemandirian dan keberlangsungan Pondok Pesantren Tebuireng yang legendaris itu beliau letakkan pada berbagai kecakapan hidup (lifeskills) seperti bertani, berternak, berkebun, dan berdagang. Hasil dari berbagai upaya tersebut dikembalikan sebagai modal pengembangan ponpes baik dari segi infrastruktur maupun kegiatan pembelajaran.
Dari berbagai kisah pendidikan di ponpes-ponpes masyhur di nusantara, kita sesungguhnya bisa melacak bahwa pendidikan lifeskills memiliki akar yang kuat dalam kultur pendidikan di di sini. Meskipun konsep pendidikan life skills dikembangkan secara akademik oleh disiplin pedagogi modern, karakter pendidikan yang memberi porsi pada kecakapan atau keterampilan “bertahan” hidup agar kelak anak didik dapat berkarya secara mandiri dalam masyarakat merupakan hal yang sudah merasuki pemahaman para pelaku pendidikan di negeri ini, bahkan sebelum Republik Indonesia berdiri.
Menurut hemat penulis, polisi perlu memasukkan berbagai pertimbangan sebelum melangkah jauh dalam mengusut kasus ini. Apalagi, UU Perlindungan Anak tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai hal-hal apa saja yang tercakup dalam pengertian eksploitasi ekonomi terhadap anak yang ncaman hukumannya 10 tahun dan dendanya mencapai 200 juta rupiah itu.
Pasal 76 I Undang-Undang 35 tahun 2014, yang menjadi dasar pelaporan oleh alumni-alumni SMA SPI, menyebutkan bahwa “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, bahkan turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan atau seksual terhadap Anak”. Tetapi, apakah konsep dan praktik pendidikan life skills masuk dalam cakupan pengertian tersebut, itu yang harus ditelisik secara seksama oleh aparat hukum yang saat ini sedang “ditarik-tarik” untuk masuk ke ranah konseptual dalam penyelenggaraan pendidikan.
Ketidakcukupan definisi hukum mengenai cakupan eksploitasi ekonomi terhadap anak perlu dijernihkan terlebih dulu secara filosofis. Tanpa mengurai makna eskploitasi dan eksploitasi ekonomi secara jelas, maka akan sulit mencari benang merah atas berbagai fragmen dalam tuduhan tersebut.
Pengertian eksploitasi ekonomi terhadap anak harus dirujuk pada konsep eksploitasi (exploitation) yang berarti pemanfaatan obyek secara sewenang-wenang. Dalam definisi eksploitasi, tujuan dari perlakuan sewenang-wenang atau berlebihan terhadap individu atau kelompok adalah kepentingan ekonomi oleh pihak tertentu. Predikat kesewenang-wenangan menjadi penting; perlakukan eksploitatif kerap dilakukan tanpa mempertimbangan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi kesejahteraan.
Dari pengertian tersebut, muncul pertanyaan penting terkait tuduhan para alumni SMA SPI. Apakah dalam mengerjakan berbagai “praktik kerja” seperti menjual kripik atau membersihkan jalan itu mereka dalam keadaan dipaksa dengan tekanan dan tidak mendapatkan imbal balik apapun? Ini harus jelas.
Jika para alumni merasa bahwa imbal balik itu ada, namun mereka merasa bahwa imbal balik yang mereka terima (sekolah gratis, tinggal dan makan gratis di asrama, kesempatan berkarir setelah lulus, dll) tak sebanding dengan apa yang mereka hasilkan, maka aparat hukum mau tak mau harus menginvestigasi klaim mereka terkait nilai objek.
Nilai objek yang hasilkan oleh para alumni selama “praktik kerja” itu harus benar-benar dapat dirinci supaya klaimnya “material”. Dalam teori nilai dijelaskan, nilai suatu objek merupakan fungsi dari kerja yang dibutuhkan untuk memproduksinya. Namun, meskipun nilai objek dapat dikontribusikan oleh sumbangan dari siapapun (misalnya nilai penjualan kripik juga dikontribusikan oleh mereka yang memberikan modal, mengonsep ide, memotivasi penjualnya), para pengusung Marxisme menganggap tenaga kerja manusia lebih vital dari yang lain.
Karena itu, kerap muncul klaim bahwa mereka “yang lebih berkeringat” harus mendapatkan bagian yang lebih. Di situlah, klaim berapa bagian yang mustinya didapatkan oleh para siswa seyogyanya dapat diverifikasi. Bicara mengenai eksploitasi ekonomi, semestinya juga disertai pembuktian kuantitatif tentang berapa nilai yang diklaim “dihisap” oleh pihak tertuduh.
Lebih lanjut, dalam tuduhan eksplotasi ekonomi, hal yang juga patut dipastikan adalah apakah ada kondisi sistemik yang bisa dibuktikan? Dalam pemahaman pengusung Marxisme, eksploitasi adalah metode “perampokan” nilai yang diciptakan kaum pekerja oleh kaum kapitalis. Eksploitasi bukan saja dianggap terjadi secara objektif atau niscaya dalam masyarakat industri tetapi juga bersifat impersonal atau imparsial. Artinya, jika terjadi eksploitasi ekonomi, semua orang yang mendapat perlakukan tersebut seharusnya bersama-sama pula merasakan eksploitasi itu: tidak mungkin ada sebagian yang merasa dieksploitasi tetapi sebagian lain justru berterima kasih atas apa yang mereka alami.
Dalam konteks kasus yang dituduhkan kepada SMA SPI, pertanyaannya kemudian adalah apakah semua siswa dari setiap kelas atau semua angkatan itu memiliki pengalaman yang sama bahwa telah dieksploitasi? Atau, adakah siswa-siswa yang justru merasakan yang berbeda; bahwa “praktik kerja” menjual keripik itu bukan eksploitasi tetapi malah bermanfaat karena membangun kecakapan hidup dan berguna setelah mereka lulus?
Jika beberapa pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab, maka pertanyaan terakhir apakah pihak tertuduh memang benar-benar “kaum kapitalis” penghisap hasil kerja keras murid, baru layak untuk dikemukakan. Apa iya nilai objek atau keuntungan yang dihasilkan para siswa itu dinikmati oleh elit-elit tertentu di sekolah? Ataukah, hasil berjualan kripik itu dikembalikan kepada sekolah sebagai salah satu sumber daya untuk pengembangan prasana fisik maupun pembelajaran, seperti halnya saat KH Hasyim Asy’ari mengembalikan hasil panen sawah yang ikut digarap para santri sebagai bahan pangan bagi segenap warga ponpes?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebetulnya tidak terlalu rumit untuk dijawab. Namun, memerlukan kejujuran dari semua pihak yang terkait dalam pengusutan tuduhan eksploitasi ekonomi di SMA SPI. Perlu dicatat bahwa kejujuran dalam penyelesaian kasus ini penting agar masyarakat terhindar dari potensi gesekan sosial yang kompleks.
Sebagai pengingat, rakyat Indonesia dan khususnya Jawa Timur pada dekade 1960-an pernah mengalami konflik sosial yang berdarah-darah, yang salah satunya dipicu oleh tuduhan keliru dari kelompok-kelompok komunis terhadap model pendidikan life skills di pesantren dan pola hubungan kultural kiai-santri yang mereka cap sebagai eksploitatif. Karena itu, diperlukan pula sensitifitas tertentu dalam pengusutan kasus ini. Polisi mungkin perlu juga mempelajari motif-motif tersembunyi di balik pelaporan tersebut sehingga gambar besar dalam rangkaian “drama hukum” ini menjadi jelas bagi publik.
Tuduhan eksploitasi ekonomi anak dalam penyelenggaraan pendidikan life skills ini menjadi pertaruhan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Benar bahwa pengusutan laporan hukum merupakan ranah pihak kepolisian. Meski demikian, pemangku kepentingan bidang pendidikan, khususnya akademisi, perlu mengingatkan bahwa upaya membuka peluang pidana bagi penerapan konsep pendidikan life skills bukan saja menjadi preseden yang mengkhawatirkan sekolah dan pesantren, tetapi juga dapat menjadi potensi laten bagi munculnya konflik-konflik sosial di masa depan.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran Bandung.