KH Rosyadi. (Ist) |
OPINI - Kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan di manapun terjadinya, selalu mengundang simpati. Orang cenderung bersikap spontan tatkala membaca informasi awal mengenai kasus semacam itu: membela korban habis-habisan serta mengecam dan “mengadili” terduga pelaku. Soal-soal yang paling dasar dalam perkara hukum, seperti argumentasi logis dan pembuktian material, seolah tak lagi diperlukan.
Media, khususnya media sosial (medsos) dan media daring memiliki kekuatan besar untuk merasuki psikologi para pembacanya. Emotional contagion (penularan emosi) terjadi sangat efektif melalui medsos. Kemarahan, kesedihan, dan kejengkelan bisa langsung dirasakan orang sehabis membaca posting tentang isu kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan. Apalagi jika dibumbui narasi-narasi lain untuk memberatkan “kesalahan” pihak tertuduh.
Siapapun yang dituduh melakukan kekerasan dan pelecehan seksual pada perempuan, meskipun baru dituduh, hampir otomatis sudah dinyatakan bersalah oleh pikiran mayoritas orang. Pihak-pihak yang terkait dengannya pun, jika ingin selamat, harus mau memutuskan hubungan mereka dengan si tertuduh. Jika tidak, ya bakal turut dihakimi secara sepihak oleh pikiran orang-orang kebanyakan.
Kasus tuduhan kekerasan -meskipun tak bernuansa seksual- yang diduga dilakukan aktor Johny Depp kepada pasangannya, Amber Heard, beberapa waktu lalu, bisa menjadi contoh betapa dahsyatnya penghakiman sepihak semacam itu. Pemberitaan tentang tuduhan kekerasan kepada Johny membuatnya dibombardir oleh berbagai posting dan komentar negatif netizen di medsos. Dampaknya, Johny kehilangan kontrak kerja dengan berbagai perusahaan film selama bertahun-tahun. Padahal, belum pernah ada keputusan pengadilan manapun yang membuktikan dirinya bersalah.
Hidup Johny seolah habis. Medsos dan media daring menjadi senjata ampuh untuk “menghabisi” karirnya. Ia sempat putus asa. Untunglah Johny punya semangat untuk membuktikan diri tidak bersalah. Ia menggugat Amber Heard dan berbulan-bulan menjalani persidangan di tengah cercaan mayoritas publik, meski ada juga yang bersimpati. Ujungnya kita tahu: Johny menang. Keputusan pengadilan membersihkan nama bintang “Pirates of the Caribbean” itu dari tuduhan keji.
Tapi, Johny mungkin hanya ada di Amerika. Saya tak bisa membayangkan ada orang Indonesia yang setegar dirinya tatkala dirundung penghakiman sepihak oleh publik. Apapun jenis kasusnya. Sebab, di sini, saat orang yang dituduh melakukan kekerasan (seksual) terhadap perempuan menggunakan haknya untuk melakukan pembelaan diri, penghakiman sepihak yang dilakukan publik justru berpotensi semakin menjadi-jadi dan lebih mengerikan.
Publik kita tak melihat perlunya mendengarkan versi berbeda dari apa yang sudah terlebih dulu masuk dalam kepala. Medsos menjadi alat brain wash (cuci otak) yang efektif. Bahkan, muncul keluhan dari sebagian kalangan bahwa aktivitas tabayyun (klarifikasi dan verifikasi informasi) ke orang yang dianggap mendapatkan infomasi keliru, saat ini sulit dilakukan lantaran “iman” orang tersebut pada postingan medsos atau pemberitaan media daring sudah sedemikian tebal.
Jika tidak percaya, lihatlah komentar-komentar netizen di berbagai postingan medsos dalam kasus-kasus dugaan kekerasan atau pelecehan seksual di tanah air. Sebagian besar netizen terkesan merasa mengantongi kebenaran walau mereka belum memiliki informasi pembanding atas tuduhan yang mereka komentari. Jika ada pembelaan diri selogis dan sefaktual apapun dari sang tertuduh, sudah hampir pasti disambut dengan penolakan, sumpah serapah dan hujatan.
Situasi menjadi lebih kompleks apabila dalam sebuah kasus dugaan kekerasan atau pelecehan seksual terdapat pihak kontra tertuduh (belum tentu sang pelapor atau terduga korban) yang secara aktif mengorganisasikan tim medsos -profesional ataupun probono- guna meramaikan penghakiman sepihak di medsos. Dalam praktik permedsosan dewasa ini, hal semacam itu lazim terjadi. Para pihak yang berkepentingan menggunakan medsos untuk menghancurkan reputasi sang lawan. Tujuannya, tentu untuk mempengaruhi proses penyelesaian kasus yang sedang berjalan.
Medsos telah menjadi mesin propaganda yang sempurna di era yang disebut post-truth ini, di mana kebohongan gampang disamarkan sebagai kebenaran. Dalam teori propaganda, kebohongan yang diulang-ulang atau dalam bahasa medsos-nya “diviralkan”, pada akhirnya akan diterima sebagai kebenaran. Celakanya, mereka yang merasa sudah mengantongi kebenaran tak memandang lagi perlunya membuka ruang di dalam pikiran untuk mewadahi masuknya informasi pengimbang.
Salah satu kasus aktual di dalam negeri yang menarik untuk melihat betapa dahsyatnya penghakiman sepihak di sosmed adalah dugaan pencabulan yang terjadi di Kota Batu, Jawa Timur. Dalam kasus tersebut, seorang pembina yayasan yang menaungi sebuah SMA terkenal di sana dilaporkan dengan tuduhan melakukan melakukan pelecehan seksual kepada seorang (mantan) siswa di sana.
Walaupun banyak terdapat kejanggalan dalam narasi-narasi yang dibuat pelapor maupun LSM yang ikut mengkampanyekan kasus tersebut (misalnya tentang laporan kasus yang dibuat 12 tahun setelah kejadian yang dituduhkan terjadi), publik netizen sepertinya sudah mengetuk palu vonis bahwa sang pembina yayasan pasti bersalah.
Produksi konten-konten Youtube, Reel, Instagram, tentang kasus tersebut kebanyakan langsung menggiring pemirsanya untuk mengecam si tertuduh. Siapapun yang mengetengahkan narasi pembanding, entah melalui konten terpisah maupun melalui komen atas konten yang mengetengahkan story dari pelapor, harus siap-siap mendapatkan komen respon yang lebih keras dari netizen.
Beberapa bulan sebelumnya, juga terjadi kasus dimana tuduhan kekerasan dan pelecehan seksual yang dilontarkan seorang pekerja media di Jakarta terhadap karyawan bagian distributor di kantor tempatnya bekerja. Cerita tentang tuduhan percobaaan perkosaan itu disajikan sang penuduh secara detail di twitter sehingga memantik amarah netizen yang membacanya. Penghakiman sepihak secara ramai-ramai pun terjadi. Publik yang marah mencemooh tertuduh bahkan sampai melakukan doxing (pembocoran data-data pribadi yang seharusnya dijaga kerahasiaannya).
Pemimpin redaksi media tersebut, yang dinarasikan tidak kooperatif dalam upaya pengungkapan kasus, juga ikut menuai kecaman ramai-ramai di medsos. Akibatnya, sebuah rencana ekspedisi keliling Indonesia yang melibatkan sang pemimpin redaksi buru-buru dibatalkan oleh penggagas kegiatan tersebut. Mungkin lantaran ia tak ingin terkena “getah” penghakiman sepihak atas kasus tersebut.
Tuduhan pelecehan seksual itu sendiri berdampak teruk pada tertuduh dan keluarganya. Anak perempuan tertuduh yang terganggu oleh berbagai postingan medsos memilih berhenti dari sekolah. Walau kemudian sang tertuduh mencoba membela diri dengan berbagai argumen logis dan valid, bahkan menunjukkan bukti-bukti dirinya kooperatif saat diminta keterangan oleh lembaga yang mengusut kasus tersebut, netizen seolah bergeming. “Stempel” bersalah itu bak telah tertancap di dahi sang tertuduh dan sulit dicabut kembali.
Konten atau narasi di medsos memang tergolong ampuh untuk menyulut emosi publik. Sebuah postingan yang mampu mengaduk-aduk emosi adalah bara yang siap mengobarkan kemarahan. Penelitian yang dilakukan Ferrara (2015) dan Ferrara dan Yang (2015) mengonfirmasi betapa mudahnya membakar emosi orang melalui postingan media sosial. Postingan medsos yang dikemas dengan narasi emosional hampir selalu berhasil dalam memicu perasaan yang sama bagi pembacanya. Pemviralan konten tentang sebuah kasus pelecehan seksual secara “berat sebelah” ibarat menyiram "bensin" kemarahan netizen sehingga melegitimasi penghakiman sepihak oleh publik.
Jika di zaman jaya-jayanya media cetak para wartawan akrab dengan istilah trial by the press (penghakiman oleh pers), maka yang terjadi di jagad digital saat ini sebetulnya tak terlalu jauh berbeda. Hanya saja, jika dulu pelaku penghakiman sepihak hanyalah kelompok media ataua pewarta, saat ini penghakiman sepihak dilakukan secara kolaboratif oleh pembuat konten dan netizen konsumen medsos.
Dampak dari trial by the social media (penghakiman oleh medsos) yang merajalela saat ini bahkan bisa lebih merusak dari trial by the press. Apabila penghakiman sepihak oleh content creator dan netizen terhadap seorang tertuduh ternyata terbukti keliru di pengadilan, tak ada kewajiban bagi mereka yang telah menularkan emosi di medos untuk memuat hak jawab atau hak koreksi dari sang tertuduh. Informasi keliru yang sudah kadung meracuni publik pun tak bisa sekonyong-konyong mereka luruskan. Perlu waktu panjang untuk membersihkan puing-puing kehancuran yang disebabkan oleh penghakiman sepihak di jagad maya.
Dalam kacamata ajaran moral atau agama, penghakiman sepihak apalagi disertai caci maki dan sumpah serapah kepada orang lain hanya berdasarkan sebuah versi informasi tanpa disertai infromasi pembanding bukanlah bentuk akhlak yang baik. Menyematkan “stempel” bersalah pada orang yang belum jelas letak kesalahannya, merupakan kezaliman.
Penulis: KH Rosyadi