Itu seperti puisi melankolis. Yang lebih cocok dikirim ke sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI). Yang berlokasi di kota wisata Batu. Malang. Yang belakangan lagi diguncang kehebohan.
Pimpinan sekolah itu diberitakan melakukan pencabulan besar-besaran pada murid perempuan di situ.
Demo digelar di depan kantor polisi dan pengadilan. Sampai pun banyak karangan bunga diusung di demo itu yang meminta Julianto Eka Putra, sang pimpinan SPI ditahan.
Lalu Julianto ditahan. Demo bisa memengaruhi pengadilan.
Membaca berita itu, saya pikir ini peristiwa baru. Kok begitu beruntun: pencabulan para siswi di pesantren Jawa Barat, di pesantren Jombang, dan kini di Kota Batu banyak yang mengira itu pesantren juga. Musim pandemi ini kok menjadi seperti musim pencabulan.
Seseorang kirim foto lama. Ke HP saya. Disertai kliping berita. Ternyata saya pernah berkunjung ke sekolah SPI itu. Sekitar 10 tahun lalu. Saya jadi ingat kekaguman saya kepadanya. Kala itu.
Saya pun mengontak siapa saja di sana. Saya sangat khawatir sekolah itu ditutup.
"Tidak ditutup Pak. Masih buka normal Pak. Tapi perasaan kami semua gundah sekali. Para guru dan murid di sini gelisah. Demikian juga orang tua murid," ujar seorang guru.
Selamat Pagi Indonesia adalah sekolah kerja. Sekolah sambil bekerja. Bekerja sambil sekolah. Ilmu di sekolah langsung dipraktekkan di lapangan. Di sekolah itu juga. Ini memang sekolah plus kewirausahaan. Seperti SMK kewirausahaan.
Lokasi sekolah ini luas sekali 3,5 hektar. Tempatnya sangat strategis. Di tengah Kota Wisata Batu. Di dekat simpang tiga menuju pemandian Selecta.
Sulit dibedakan apakah lokasi ini sekolah, tempat rekreasi, fasilitas outbound, permainan, spot berfoto, dan kafe.
Semua ada di situ.
Siswa yang sudah mendapat pelajaran kewirausahaan langsung mempraktikkannya jadi pelayan kafe, jadi pemandu wisata, jadi kasir, jadi pengelola tiket, jadi pengawas, dan jadi apa saja.
Sekolah lain banyak yang mengirim siswa ke SPI. Rekreasi yang bernuansa pendidikan. Menyenangkan.
"Anak-anak yang ke sana senang sekali. Di sana yang melayani anak-anak sebaya," ujar ustad Ali Wahyudi, pimpinan madrasah modern Tursina Kota Batu. "Kami sering mengirim santri rekreasi ke sana," ujar Ali.
Saya pun mendapat kontak ke SPI.
"Berapa banyak murid wanita yang dicabuli pimpinan sekolah?," tanya saya.
"Kenapa bapak bertanya begitu?" jawabnya, balik bertanya.
"Lho kan di media disebutkan begitu," jawab saya.
"Itulah Pak. Kami juga heran di sini," katanya.
Julianto kini sedang diadili. Di Pengadilan Negeri Malang.
Proses peradilan itu ternyata sudah sejak tahun lalu. Bukan mulai baru-baru ini. Rabu kemarin sidangnya memasuki tahap penuntutan. Jaksa akan menuntut Julianto dihukum berapa lama. Ternyata sidang kemarin itu ditunda.
Awalnya Julianto diadukan oleh seorang mantan siswi. Juga mantan karyawan. Asal Madiun. Namanya Sheren Della Sandra. Isi pengaduannya Julianto melakukan pencabulan dan kekerasan seksual kepada diri Sheren.
Kapan pencabulan itu dilakukan? Sudah lama 12 tahun yang lalu.
Mengapa baru mengadu 12 tahun kemudian? Itu yang akan saya tanyakan kalau bertemu Sheren kelak. Yang jelas pengaduan ke polisi itu baru dilakukan 29 Mei tahun 2021. Yakni empat bulan setelah Sheren berhenti sebagai karyawan di SPI.
Sheren berhenti bekerja di bulan Januari 2021. Dia mengundurkan diri. Alasannya akan menikah. Calon suaminyi adalah... sebuah nama yang tidak perlu disebut di sini.
Sheren sendiri sekolah SMA di SPI Kota Batu. Dia lulus tahun 2011. Berarti umurnya saat ini, sekitar 27 tahun.
Begitu lulus Sheren langsung bekerja di SPI. Sepuluh tahun dia bekerja di situ. Sheren memimpin unit show. Dia pintar. Kreatif. Aktif. Cekatan. Banyak kreasi karya seni yang dihasilkan Sheren. Itu membuat show di SPI menarik bagi pengunjung.
Setelah berhenti bekerja di SPI, Sheren pindah ke Bali. Bekerja di sana. Empat bulan kemudian Sheren ke kantor polisi. Julianto diadukan melakukan kekerasan seksual padanya. Yakni ketika dia masih sekolah SMA di SPI, 12 tahun yang lalu.
Sheren menyertakan bukti visum kemaluannya. Yakni visum yang dibuat di bulan Mei 2021. Bahwa ia tidak perawan lagi.
Pengacara Julianto, Jeffry Simatupang, S.H., M.H lantas menelusuri ke mana saja Sheren sebelum visum itu dilakukan. Pengacara ini telaten sekali mengumpulkan barang bukti pembanding.
Jeffry sampai menemukan tanggal berapa, di hotel mana, berapa hari, Sheren bersama pacarnya bermalam. Dan itu terjadi sebelum dilakukan visum. Bukti-bukti itu ada di tangan Jeffry.
"Apakah hasil visum tidak perawan lagi itu akibat perbuatan 12 tahun lalu?," ujar Jeffry.
Jeffry adalah Siantar-man yang lahir di Surabaya. Sekolah dan kuliah di kota Pahlawan itu. Ia alumnus Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya). Di Ubaya pula S-2 nya.
Sheren hadir satu kali di pangadilan, yakni saat menjadi saksi pelapor. Pasal yang dituduhkan pada Julianto adalah pencabulan pada anak. Karena itu Komisi Nasional Perlindungan Anak turun tangan.
Julianto ditahan sejak dua pekan lalu akibat tekanan publik. Padahal sudah berbulan-bulan Julianto diadili tanpa ditahan. Dan ia selalu kooperatif.
Sheren memang sempat jadi bintang media. Setelah mengadu ke polisi itu dia laris. Diwawancarai banyak stasiun TV. Seandainya saya berhasil menghubungi Sheren sebenarnya ada satu pertanyaan lagi yang ingin saya sampaikan, mengapa saat tampil di TV-TV itu Sheren mengenakan jilbab dan baju syar'i. Padahal dia itu Kristen.
Tentu tidak ada larangan orang Kristen mengenakan pakaian syar'i. Saya hanya ingin menganalisis pengaruh media pada opini publik. Terutama pengaruh akibat penampilan simbolis seperti itu. Apalagi Julianto, yang dia adukan, adalah seorang Kristen. Tionghoa.
Bisa saja itu supaya ada kesan ini Tionghoa memerkosa wanita berjilbab. Lebih seru. Atau sebenarnya hanya untuk menyamarkan diri. Sayang saya belum bisa menemukan Sheren. Pasti menarik jawaban soal mengapa dia pakai jilbab.
Saya terus mencari Sharen. Saya dapatkan foto copy KTP-nya Mangunharjo, Madiun. Tapi saya belum berhasil mengontak Sheren. Nomor telepon yang saya dapat tidak bisa terhubung. Alamat rumah yang ada di KTP sudah didatangi "petugas Disway".
Kosong.
Itu rumah kontrakan. Di dalam sebuah gang. Sederhana sekali. "Sudah setahun pindah. Tanpa ada yang dipamiti," ujar tetangga rumahnya.
Sheren juga pernah tampil di koran. Ia menceritakan kiat-kiat hidup kreatif. Termasuk menceritakan mengapa dia menciptakan gerak teatrikal dengan judul "Show My Transformation". Yakni teater gerak yang menggambarkan perubahan ulat menjadi kepompong dan akhirnya jadi kupu-kupu indah.
Keluarga Julianto sendiri lagi mengusahakan kembali tahanan luar. Tiga anak Julianto, yang sekolah di luar negeri, pulang semua.
Selama Julianto tidak aktif, kepemimpinan di Selamat Pagi Indonesia dipegang Sendy Fransiscus Tantono.
Sendy adalah ketua yayasan di situ. Ia juga dosen. Memang SPI sudah pula mendirikan perguruan tinggi. Namanya Sekolah Tinggi Kewirausahaan Selamat Pagi Indonesia (STKSPI). Sekolah tinggi ini diresmikan empat tahun lalu. Yang meresmikan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Moh Nasir.
Sebenarnya sudah lama Sendy memegang posisi pimpinan sehari-hari. Julianto sudah lebih banyak mengurus penyediaan dana sekolah. Sendy sudah mampu dilepas. Ia lulusan S1 Petra Surabaya. Lalu melanjutkan S2 di Thailand. Sedang doktornya diperoleh dari Austria.
Belakangan Julianto hanya mengoordinasikan donatur sekolah. Parah. Akibat peristiwa itu beberapa donator telah mundur.
Julianto memang harus rajin mencari dana. Sekolah ini khusus untuk anak yatim piatu, yatim saja atau piatu saja. Dari seluruh Indonesia. Tanpa pandang suku dan agama. Gratis.
Anak-anak yang ditampung itu tidak harus pintar. "Anak pintar sudah banyak yang memperhatikan," ujar Jeffry mengutip kata-kata Julianto.
Masih ada pengaduan lain. Dari Sheren juga Julianto mengeksploitasi anak untuk bisnis. Lalu satu lagi di Polres Batu, saya belum tahu siapa yang mengadu dan soal apa.
Masih adakah pagi di Batu?
**
Penulis: Dahlan Iskan