Sehingga jika penundaan Pemilu yang sedianya dilaksanakan pada 2024 mendatang benar terjadi, maka diindikasikan adanya perubahan peraturan yang telah diatur dalam Undang-undang terkait penetapan periodisasi jabatan presiden.
Menanggapi hal itu, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Wiranto menegaskan, tidak mungkin negara sampai mengubah isi Undang-undang Pemilu hanya berdasarkan big data dukungan masyarakat.
Bahkan Wiranto menagih big data tersebut jika memang benar adanya.
"Ya, sudah ndak mungkin (amandemen UU). Kalau ada datanya sini kasihkan ke saya, saya bisa jawab," ujarnya, Jumat (8/4/2022).
Wiranto menambahkan, jika ternyata big data tersebut hanya sekedar ucapan belaka maka isu soal penundaan Pemilu tidak akan pernah ada habisnya.
Wiranto meminta masyarakat untuk lebih berpikir rasional menanggapi isu penundaan Pemilu tersebut.
"Satu debatable yang tidak akan selesai. Ya, kita bicara rasionalitas," terangnya.
Wiranto menjelaskan jika mengubah periodisasi jabatan presiden harus melewati proses yang tidak mudah, di mana perpanjangan masa jabatan berarti perlu mengamandemen UUD 1945. Otomatis diperlukan persetujuan publik dan juga MPR RI terlebih dahulu.
Untuk diketahui, MPR RI merupakan gabungan dari DPR RI dan DPD RI, yang di dalamnya terdiri dari 9 jumlah parpol.
"DPR sendiri dari 9 parpol hanya 3 parpol yang setuju mengubah itu. 6 parpol tidak setuju. (Lalu) dibawa ke MPR, ditambah DPD, (kemudian) DPD tidak setuju. Jadi mana mungkin terjadi perubahan amandemen UUD 1945 mengenai jabatan presiden 3 periode?," tanya Wiranto.
Belakangan isu penundaan Pemilu menjadi bahasan yang panas di antaranya kalangan elit politik dan pemerintah. Hal itu tak lepas dari pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut ada ratusan juta masyarakat Indonesia yang setuju Pemilu 2024 untuk diundur.
Dalam pernyataan itu mengisyaratkan bahwa adanya penambahan masa jabatan Jokowi sebagai Presiden RI.
(dny/has)